Sabtu, 03 Agustus 2024

Seputar Mangrove Sumber Manjing Wetan Kabupaten Malang


MANGROVE DI PANTAI CLUNGUP KABUPATEN MALANG
A.    GAMBARAN UMUM
Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, yang terdiri dari dua Dsun yaitu Dusun Tambakrejo dan Dusun Sendangbiru. Dusun Sendang Biru merupakan daerah pesisir pantai dengan wilayah pantainya yang berhadapan dengan Plau Sempu. Panjang garis pantai Kabupaten Malang secara keseluruhan adalah 85,92 km dengan luas perrairan laut 4 mil sekitar 565,45 km2 atau luas perairan 12 mil sekitar 1696,35 km2. Panjang garis pantai Sumbermanjing Wetan sekitar 27,02 km, dengan luas perairan laut 4 mil sekitar 176,76 km2 dan luas perairan 12 mil 536,29 km2 (Sumber: Kantor Desa Tambakrejo, 2016).  Dusun Sendang Biru merupakan daerah pantai Selatan yang tidak terdapat landasan benua tetapi curam dan berkarang, dengan demikian gelombang yang terjadi adalah mulai dari gelombang sedang sampai gelombang besar serta terjadi dua kali pasang surut dengan arus pasang yang kuat. Sedangkan dasar perairan pantai berupa pasir, lumpur dan karang dengan kedalaman 100 m.

Letak geografis adalah letak daerah atau negara yang ditinjau dari kenyataan di permukaan bumi. Sendangbiru berada pada koordinat 80 26’ - 80 30’ Lintang Selatan dan 1120 38 - 112 0 43’ Bujur Timur. Kawasan Sendangbiru terletak di Desa Tamakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan dengan batas sebelah utara dengan Kedung Banteng, sebelah selatan dengan Samudera Hindia, sebelah timur dengan Tambaksari, sebelah barat dengan Desa Sitiarjo (Kantor Dusun Sendag Biru, 2016).
Hamparan pohon mangrove langsung terlihat ketika saya memasuki kawasan Pantai Clungup di Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Di sisi kiri jalan setapak menuju pantai itu mangrove tumbuh lebat dan rapat. Gugusan bukit yang mulai lebat ditumbuhi pepohonan, menjadi latar rimbunannya mangrove di pantai selatan Jawa Timur itu. Siapa sangka, kawasan ini, pada masa reformasi 1998 sempat kritis karena pohonnya ditebangi masyarakat. Reformasi yang lepas kendali menjadi biang kerusakan lingkungan di pesisir selatan Jawa Timur, termasuk hutan mangrove di sini.
“Habis, tidak ada apa pun. Begitu juga ikan dan satwa yang ada. Masyarakat beringas, semua ditebang,” papar Saptoyo, Ketua Lembaga Masyarakat Konservasi Bakti Alam yang mengelola Clungup Mangrove Conservation (CMC), beberapa waktu lalu.
“Kami mulai 2005, sifatnya simpatisan, siapa yang mau ikut saja. Hanya 8 hektare yang tidak bisa dikembalikan fungsinya karena sudah berbentuk sawah.”
Mangrove yang memiliki fungsi penting sebagai penahan abrasi pantai. Foto: Junaidi Hanafiah
Upaya merestorasi kawasan pantai Clungup bukan pekerjaan mudah karena banyak benturan kepentingan. Ada tambak dan lahan pertanian yang harus dibebaskan melalui ganti rugi karena sudah digarap warga. Mentalitas masyarakat yang tidak peduli lingkungan merupakan masalah utama yang harus dibenahi saat itu. “Bersama anggota kelompok sebanyak 105 orang, kami menanam 10.000 mangrove dengan jarak tanam 3×3 meter setiap tahun.”
Menurut Saptoyo, melibatkan masyarakat untuk melestarikan lingkungan harus memperhatikan kepentingan ekonomi juga. Melalui ekowisata, teman-teman yang dulunya merambah mangrove, kami alihkan menjadi pemandu wisata dan lainnya. “Menanam itu mudah. Menjaga dan merawat itu yang berat, karena harus ada kolaborasi semua pihak,” tandasnya.


Tidak selalu menanam
Rehabilitasi lahan menurut Coastal Safety Manager Wetland International, Apri Susanto Astra, tidak selalu menanam. Melihat keseluruhan dan melakukan penilaian awal terhadap lahan yang akan rehabilitasi, terutama apa yang dibutuhkan, adalah hal penting yang harus dilakukan. Apri mengatakan rehabilitasi harus diawali penilaian, untuk mengetahui target dan kesesuaian dengan rencana yang akan dijalankan. Persoalan yang sering dihadapi adalah tidak diketahuinya apa yang dibutuhkan lahan karena pada dasarnya alam mempunyai mekanisme memperbaiki diri, termasuk ekosistem mangrove. “Bila lahan untuk tumbuh kembang mangrove telah tersedia, kita tidak perlu melakukan apa-apa lagi. Alam akan mengembalikan mangrove pada posisi dan kondisi semula, bisa tumbuh sendiri.”
Ekosistem mangrove memiliki arti penting bagi iklim global. Hutan mangrove sendiri memiliki kemampuan empat kali lipat dari hutan biasa sebagai penyimpan cadangan karbon dalam tanah. Foto: Junaidi Hanafiah
Apri mencontohkan hutan mangrove yang terbentuk tanpa ada intervensi manusia melalui penanaman, yaitu hutan referensi di Desa Bedono, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Struktur permeable yang merupakan cara merehabilitasi ekosistem mangrove tanpa melakukan penanaman.“Kita hanya membuat bendungan kayu untuk tumbuh kembang mangrove. Selama kurun waktu tertentu, satu petak struktur yang penuh sedimen akan beralih menjadi vegetasi mangrove dan begitu selanjutnya.” Struktur permeable adalah model penyediaan lahan tumbuh kembang mangrove yang diadopsi dari Belanda. Lahan yang disiapkan melalui metode ini hanya menunggu terperangkapnya bibit mangrove pada sedimen yang menjadi media tumbuh kembang mangrove. Bibit mangrove yang jatuh ke air dan terbawa gelombang akan terperangkap serta menancap di sedimen atau lumpur itu. Selain oleh air, bibit mangrove juga disebarkan oleh burung pantai yang biasanya singgah di mangrove.



“Kalau di area tersebut suplay bibitnya tidak ada, ini yang perlu intervansi manusia. Kita sediakan bibitnya tapi bukan dengan menanam, melainkan dengan menebar tanpa harus menancapkan. Biarkan alam yang mengatur tanpa harus kita tata.” Menurut Apri, bila ekosistem mangrove terjaga dipastikan membawa keuntungan bagi lingkungan maupun manyarakat. “Mangrove itu fungsinya melindungi daerah pesisir dari ombak, erosi, abrasi, juga mengimbangi peningkatan tinggi air laut dan menahan intrusi air laut ke dalam. Secara ekologis, membantu proses yang terjadi pada ekosistem, seperti menjadi tempat bertelur ikan atau biota lain, juga tempat burung berkumpul dan mencari pakan.”Selain sebagai pelindung pesisir, konservasi ekosistem mangrove baiknya juga memperhatikan sisi ekonomi masyarakat. Sebab, konservasi dan perlindungan alam akan sulit diwujudkan tanpa adanya dukungan masyarakat. “Kami coba mengkombinasikan perlindungan dan pelestarian lingkungan dengan kegiatan yang menghasilkan nilai ekonomi bagi masyarakat. Ini penting,” pungkas Apri.
B.  Suhu Air
Kisaran ratarata suhu di Hutan Mangrove Sendang Biru
adalah 32,3°C – 37,3°C
Ø ratarata suhu terendah : stasiun 6
Ø ratarata suhu tertinggi : stasiun 2

C.  pH Substrat
Nilai pH yang diperoleh dari hasil pengamatan
menunjukkan kisaran nilai ratarata antara 5,8 – 6,2
Ø pH terendah : stasiun 2
Ø pH tertinggi : stasiun 4 & 5

D. Salinitas
Nilai salinitas di hutan mangrove Sendang Biru berada
pada kisaran ratarata antara 11,3‰– 34‰
Ø Salinitas terendah : stasiun 5
Ø Salinitas tertinggi : stasiun 4


E.  DO (Dissolve Oxygen)
Kisaran nilai ratarata antara 4,41 ppm – 6,54 ppm
Ø DO Terendah : stasiun 7
Ø DO Tertinggi : stasiun 2

Distribusi jenis Gastropoda terbanyak terdapat pada microhabitat substrat, yaitu 79,8 %, mikrohabitat akar 14,8 %, dan microhabitat batang 5,4 %.

Jumlah jenis Gastropoda di Hutan Mangrove Sendang Biru mencapai 17 jenis dari 5 famili dan kepadatan tertinggi yaitu jenis Terebralia sp. dan Terebralia sulcata (Famili Potamididae) dengan
kepadatan masingmasing, yaitu 447 dan 309 individu dari total 1489 individu.

Distribusi Gastropoda di Hutan Mangrove Sendang Biru pada masingmasing mikrohabitat lebih dipengaruhi oleh DO (Dissolve Oxygen) dan salinitas (faktor abiotik) serta jenis mangrove (faktor biotik).



DAFTAR PUSTAKA


Saptarini, D., Trisnawati, I., & Hadiputra, M. A. (2010). Struktur Komunitas Gastropoda
             (Moluska) Hutan Mangrove Sendang Biru, Malang Selatan. Jurnal FMIP_ITS:
             Surabaya
.


https://gpswisataindonesia.info/2017/05/konservasi-mangrove-clungup-sumber-manjing-wetan-
            kabupaten-malang-jawa-timur/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar