MANGROVE DI
PANTAI CLUNGUP KABUPATEN MALANG
A.
GAMBARAN UMUM
Sumbermanjing
Wetan, Kabupaten Malang, yang terdiri dari dua Dsun yaitu Dusun Tambakrejo dan
Dusun Sendangbiru. Dusun Sendang Biru merupakan daerah pesisir pantai dengan
wilayah pantainya yang berhadapan dengan Plau Sempu. Panjang garis pantai
Kabupaten Malang secara keseluruhan adalah 85,92 km dengan luas perrairan laut
4 mil sekitar 565,45 km2 atau luas perairan 12 mil sekitar 1696,35 km2. Panjang garis
pantai Sumbermanjing Wetan sekitar 27,02 km, dengan luas perairan laut 4 mil
sekitar 176,76 km2 dan luas perairan 12 mil 536,29 km2 (Sumber: Kantor
Desa Tambakrejo, 2016). Dusun
Sendang Biru merupakan daerah pantai Selatan yang tidak terdapat landasan benua
tetapi curam dan berkarang, dengan demikian gelombang yang terjadi adalah mulai
dari gelombang sedang sampai gelombang besar serta terjadi dua kali pasang
surut dengan arus pasang yang kuat. Sedangkan dasar perairan pantai berupa
pasir, lumpur dan karang dengan kedalaman 100 m.
Letak
geografis adalah letak daerah atau negara yang ditinjau dari kenyataan di
permukaan bumi. Sendangbiru berada pada koordinat 80 26’ - 80 30’ Lintang
Selatan dan 1120 38 - 112 0 43’ Bujur Timur. Kawasan Sendangbiru terletak di Desa
Tamakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan dengan batas sebelah utara dengan
Kedung Banteng, sebelah selatan dengan Samudera Hindia, sebelah timur dengan
Tambaksari, sebelah barat dengan Desa Sitiarjo (Kantor Dusun Sendag Biru,
2016).
Hamparan
pohon mangrove langsung terlihat ketika saya memasuki kawasan Pantai Clungup di
Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Di sisi kiri jalan
setapak menuju pantai itu mangrove tumbuh lebat dan rapat. Gugusan bukit yang
mulai lebat ditumbuhi pepohonan, menjadi latar rimbunannya mangrove di pantai
selatan Jawa Timur itu. Siapa sangka, kawasan ini, pada masa reformasi 1998
sempat kritis karena pohonnya ditebangi masyarakat. Reformasi yang lepas
kendali menjadi biang kerusakan lingkungan di pesisir selatan Jawa Timur,
termasuk hutan mangrove di sini.
“Habis,
tidak ada apa pun. Begitu juga ikan dan satwa yang ada. Masyarakat beringas,
semua ditebang,” papar Saptoyo, Ketua Lembaga Masyarakat Konservasi Bakti Alam
yang mengelola Clungup Mangrove Conservation (CMC), beberapa waktu lalu.
“Kami
mulai 2005, sifatnya simpatisan, siapa yang mau ikut saja. Hanya 8 hektare yang
tidak bisa dikembalikan fungsinya karena sudah berbentuk sawah.”
Mangrove
yang memiliki fungsi penting sebagai penahan abrasi pantai. Foto: Junaidi
Hanafiah
Upaya
merestorasi kawasan pantai Clungup bukan pekerjaan mudah karena banyak benturan
kepentingan. Ada tambak dan lahan pertanian yang harus dibebaskan melalui ganti
rugi karena sudah digarap warga. Mentalitas masyarakat yang tidak peduli
lingkungan merupakan masalah utama yang harus dibenahi saat itu. “Bersama
anggota kelompok sebanyak 105 orang, kami menanam 10.000 mangrove dengan jarak
tanam 3×3 meter setiap tahun.”
Menurut
Saptoyo, melibatkan masyarakat untuk melestarikan lingkungan harus
memperhatikan kepentingan ekonomi juga. Melalui ekowisata, teman-teman yang
dulunya merambah mangrove, kami alihkan menjadi pemandu wisata dan lainnya.
“Menanam itu mudah. Menjaga dan merawat itu yang berat, karena harus ada
kolaborasi semua pihak,” tandasnya.
Tidak selalu menanam
Rehabilitasi
lahan menurut Coastal Safety Manager Wetland International, Apri Susanto
Astra, tidak selalu menanam. Melihat keseluruhan dan melakukan penilaian awal
terhadap lahan yang akan rehabilitasi, terutama apa yang dibutuhkan, adalah hal
penting yang harus dilakukan. Apri mengatakan rehabilitasi harus diawali
penilaian, untuk mengetahui target dan kesesuaian dengan rencana yang akan
dijalankan. Persoalan yang sering dihadapi adalah tidak diketahuinya apa yang
dibutuhkan lahan karena pada dasarnya alam mempunyai mekanisme memperbaiki
diri, termasuk ekosistem mangrove. “Bila lahan untuk tumbuh kembang mangrove
telah tersedia, kita tidak perlu melakukan apa-apa lagi. Alam akan
mengembalikan mangrove pada posisi dan kondisi semula, bisa tumbuh sendiri.”
Ekosistem
mangrove memiliki arti penting bagi iklim global. Hutan mangrove sendiri
memiliki kemampuan empat kali lipat dari hutan biasa sebagai penyimpan cadangan
karbon dalam tanah. Foto: Junaidi Hanafiah
Apri
mencontohkan hutan mangrove yang terbentuk tanpa ada intervensi manusia melalui
penanaman, yaitu hutan referensi di Desa Bedono, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.
Struktur permeable yang merupakan cara merehabilitasi ekosistem mangrove
tanpa melakukan penanaman.“Kita hanya membuat bendungan kayu untuk tumbuh
kembang mangrove. Selama kurun waktu tertentu, satu petak struktur yang penuh
sedimen akan beralih menjadi vegetasi mangrove dan begitu selanjutnya.” Struktur
permeable adalah model penyediaan lahan tumbuh kembang mangrove yang
diadopsi dari Belanda. Lahan yang disiapkan melalui metode ini hanya menunggu
terperangkapnya bibit mangrove pada sedimen yang menjadi media tumbuh kembang
mangrove. Bibit mangrove yang jatuh ke air dan terbawa gelombang akan
terperangkap serta menancap di sedimen atau lumpur itu. Selain oleh air, bibit
mangrove juga disebarkan oleh burung pantai yang biasanya singgah di mangrove.
“Kalau
di area tersebut suplay bibitnya tidak ada, ini yang perlu intervansi
manusia. Kita sediakan bibitnya tapi bukan dengan menanam, melainkan dengan
menebar tanpa harus menancapkan. Biarkan alam yang mengatur tanpa harus kita
tata.” Menurut Apri, bila ekosistem mangrove terjaga dipastikan membawa
keuntungan bagi lingkungan maupun manyarakat. “Mangrove itu fungsinya
melindungi daerah pesisir dari ombak, erosi, abrasi, juga mengimbangi
peningkatan tinggi air laut dan menahan intrusi air laut ke dalam. Secara
ekologis, membantu proses yang terjadi pada ekosistem, seperti menjadi tempat
bertelur ikan atau biota lain, juga tempat burung berkumpul dan mencari
pakan.”Selain sebagai pelindung pesisir, konservasi ekosistem mangrove baiknya
juga memperhatikan sisi ekonomi masyarakat. Sebab, konservasi dan perlindungan
alam akan sulit diwujudkan tanpa adanya dukungan masyarakat. “Kami coba
mengkombinasikan perlindungan dan pelestarian lingkungan dengan kegiatan yang
menghasilkan nilai ekonomi bagi masyarakat. Ini penting,” pungkas Apri.
B. Suhu Air
Kisaran rata‐rata
suhu di Hutan Mangrove Sendang Biru
adalah 32,3°C – 37,3°C
Ø rata‐rata suhu terendah : stasiun
6
Ø rata‐rata suhu tertinggi :
stasiun 2
C. pH Substrat
Nilai pH yang diperoleh dari hasil pengamatan
menunjukkan kisaran nilai rata‐rata antara 5,8 – 6,2
Ø pH terendah : stasiun 2
Ø pH tertinggi : stasiun 4 & 5
D. Salinitas
Nilai salinitas di hutan mangrove Sendang Biru
berada
pada kisaran rata‐rata
antara 11,3‰– 34‰
Ø Salinitas terendah : stasiun 5
Ø Salinitas tertinggi : stasiun 4
E. DO (Dissolve Oxygen)
Kisaran nilai rata‐rata
antara 4,41 ppm – 6,54 ppm
Ø DO Terendah : stasiun 7
Ø DO Tertinggi : stasiun 2
Distribusi jenis Gastropoda
terbanyak terdapat pada microhabitat substrat, yaitu 79,8 %, mikrohabitat akar
14,8 %, dan microhabitat batang 5,4 %.
Jumlah jenis Gastropoda di Hutan
Mangrove Sendang Biru mencapai 17 jenis dari 5 famili dan kepadatan tertinggi
yaitu jenis Terebralia sp. dan Terebralia sulcata (Famili Potamididae) dengan
kepadatan masing‐masing, yaitu 447 dan 309 individu dari total 1489
individu.
Distribusi Gastropoda di Hutan
Mangrove Sendang Biru pada masing‐masing
mikrohabitat lebih dipengaruhi oleh DO (Dissolve Oxygen) dan salinitas (faktor
abiotik) serta jenis mangrove (faktor biotik).
DAFTAR PUSTAKA
Saptarini, D., Trisnawati, I., &
Hadiputra, M. A. (2010). Struktur Komunitas Gastropoda
(Moluska) Hutan Mangrove Sendang Biru, Malang Selatan. Jurnal FMIP_ITS:
Surabaya.
(Moluska) Hutan Mangrove Sendang Biru, Malang Selatan. Jurnal FMIP_ITS:
Surabaya.
https://gpswisataindonesia.info/2017/05/konservasi-mangrove-clungup-sumber-manjing-wetan-
kabupaten-malang-jawa-timur/
kabupaten-malang-jawa-timur/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar